Jumat, 28 Maret 2014

Televisi ku sayang televisiku malang......

Televisi Sebagai Media "Pendidikan" atau "Pembunuhan" Budaya Bangsa

Televisi merupakan sarana teknologi komunikasi yang berkembang pesat dewasa ini, karena televisi sudah menjadi kebutuhan yang sacral bagi masyarakat kita di Indonesia khususnya. Dengan si kotak ajaib ini kita dapat mengakses suatu informasi dengan mudah dan efisien secara serentak baik yang ada di perkotaan maupun di Pedesaan. Akan tetapi sampai saat ini masih terdengar keluhan dari tengah masyarakat kita akan tayangan dan hiburan yang ada di pertelevisian nasional. Mengapa ini bisa sampai terjadi ?. Ini disebabkan oleh pertelevisian nasional yang hanya mengutamakan unsur materialisme saja. Ini dapat dilihat apabila semakin tinggi rating suatu siaran maka siaran tersebut semakin dipublikasikan secara jor-joran tanpa melihat aspek cultural-educatif yang kadang dinafikan oleh media televisi tersebut. Walaupun siaran tersebut tidak mengandung unsur pendidikan dan etika budaya kita. Tetapi, tetap nekat dipublikasikan kepada khalayak ramai yang parahnya lagi tanpa memperhatikan jam tayang ( prime time ) yang tepat sehingga dengan mudahnya anak-anak juga ikut-ikutan mengkonsumsi tayangan tersebut.
Tayangan televisi kini menjadi hiburan yang murah meriah, karena siarannya dikemas semenarik mungkin untuk menarik konsumen sehingga tayangan-tayangan berita dikemas melalui infotaintment yang menyinggung kehidupan pribadi selebritis sebagai santapan lezat yang mengakibatkan bergesernya ruang pribadi misalnya saja Hot Gossip, Cek dan Ricek, Insert, Ketok Pintu dan sebagainya, Yang dengan santainya menginterogasi sesuatu yang belum menjadi realita. Ini dapat dilihat dari kasus Adjie Massaid dengan Reza, yang menunjukan betapa piawainya detektif infotaintment tersebut dalam membongkar hal pribadi seseorang. Apalagi persaingan antar siaran infotaintment yang ketat maka makin menuntut sang wartawan untuk menelanjangi obyek sasaran sejauh-jauhnya, kemudian isinya di jual kepada penonton. Begitu juga dengan siaran yang berbau religius yang menjadikan embel-embel Ilahi sebagai kedoknya, disajikan semenghibur mungkin sehingga malah menjebak konsumen sendiri dalam keraguan dan kebingungan, karena kehilangan makna dari dakwah itu sendiri bahkan, menjerumuskan kita dalam hal yang berbau tahayyul, mitos, perdukunan dan sebagainya. Semua siaran tersebut memerlukan penalaran yang kritis untuk dpt mengkaji pengaruh-pengaruh positif yang terkandung dalam siaran tersebut agar tidak tersugesti dengan hal yang negatifnya.
Belum lagi berbagai macam jenis reality show hiburan yang sering disiarkan oleh televisi-televisi swasta kita semacam AFI (Akademi Fantasi Indosiar), Indonesian Idol yang mengadopsi sepenuhnya dari American Idol serta sampai kepada hal-hal yang mengarah kepada ekstrem misalnya Radikal yang mengadaptasikan Fear Factor versi Indonesia. Kemudian diberikan imbalan materi semata. Semua ini melihat betapa tidak kreatif dan inovatifnya pihak pertelevisian kita karena hanya bisa “ mencontek “ hasil karya orang lain.
Dan dari reality show yang berusaha untuk mengundang simpati dan empati penonton misalnya dalam acara Lunas yang terlalu berlebihan dalam publikasinya. Dalam acara tersebut orang yang mendapat hadiah di takut-takuti dan di intimidasi dahulu agar membayar hutangnya sehingga mereka berusaha untuk mengeluarkan segala apa yang di milikinya kemudian baru di beri tahu bahwa semua hutangnya akan dilunaskan. Di sini saya melihat ada kecenderungan untuk “menjual” air mata maksudnya setelah orang tersebut ketakutan dan menangis baru dia di beri uang. Memang ada segi positifnya di sini yaitu membuat orang miskin menjadi bahagia jika segala sesuatunya di ukur dengan uang. tetapi, alangkah baiknya jika mereka tidak terlalu berlebihan dalam pengemasan siaran tersebut, karena ini menampakan image yang tidak baik bagi masyarakat. Apa salahnya jika mereka mengemas acara ini dengan seperlunya saja seperti pada acara Reality Show Tolong, Uang Kaget, Pulang Kampung dan sebagainya. Hanya dengan berusaha untuk meringankan beban orang lain acara ini dapat menyeret penonton dalam perasaan simpati yang mendalam tanpa melebih-lebihkan realita, dengan begitu siaran ini juga mendapat rating yang lumayan tinggi dalam penyiarannya dan tidak kalah dengan Reality-Reality Show lain yang sejenis .
Kecenderungan diatas membuat konsumen kehilangan siaran-siaran yang dapat mendidik dan mengarahkan mereka. Sedangkan, di Indonesia masyarakatnya merupakan konsumtif yang berlebihan. Mereka hanya bisa menerima tanpa bisa memfilter dengan baik sehingga nantinya bisa mengakibatkan pembodohan untuk mereka sendiri, padahal televisi merupakan agen social yang penting untuk proses pembelajaran, akan tetapi kenyataannya masyarakat hanya di suguhi oleh tontonan yang sentiasa mengumbar hiburan berlebihan apalagi yang menjurus pada pornografi seperti film 17 th keatas yang ditayangkan pada tengah malam, sinetron-sinetron remaja yang seolah-olah merefleksikan inilah bobroknya remaja kita yang jauh dari etika-etika ketimuran dan nuansa yang Agamis misalnya BCG ( Buruan Cium Gue ).yang untung saja dicekal, Virgin, dan masih banyak lagi yang lain. film-film yang adegan kekerasannya terlalu berlebihan, sampai pada reality show “Ari Wibowo mencari pembantu” yang diprotes oleh kaum Perempuan karena dibilang menjadikan wanita sebagai objek komersial.
Semua fakta diatas mungkin bisa disebabkan oleh gencarnya modernisasi yang tidak tertahan dari luar dan tidak diiringi oleh kesiapan mental masyarakat untuk menerimanya dan menyeleksinya sehingga cenderung menjadi westernisasi yang liberal dan kapitalis. Fenomena-fenomena tersebut sudah menjadi masalah bagi setiap Negara yang baru berkembang. Pihak media televise hanya mencari keuntungan semata dengan naiknya rating siaran televise produk mereka untuk di tonton oleh masyarakat. Apatah lagi untuk mendidik masyarakat kita, aspek-aspek etika budaya yang sekian lama terbentuk pun perlahan-lahan memudar dan nantinya akan punah dengan sendirinya akibat dari siaran-siaran televisi yang jauh dari nuansa yang mendidik. Barangkali ini sudah realitas yang harus terjadi dan merupakan konsekuensi dari proses demokratisasi dan kebebasan pers yang tidak terkontrol. Tapi, jika masyarakat selaku konsumen televisi tidak siap bersikap dewasa dan hanya menganggapnya sekedar hiburan belaka, ini bisa berbahaya. Sebab dari sinilah kadang kita gampang menemukan contoh dan keteladanan sebagai media pembelajaran tetapi, dalam pengertian yang negative. Hal ini juga tidak terlepas dari minimnya upaya-upaya dari pihak-pihak yang terkait dan mempunyai wewenang yang legal untuk meredam atau setidak-tidaknya meminimalisir tayangan-tayangan yang bertentangan dan tidak sesuai untuk dikonsumsi khalayak umum misalnya dengan mengatur prime time yang tepat dan sesuai, penyensoran serta pembredelan televisi maupun pers yang mempunyai esensi yang negative dan dapat berefek buruk bagi masyarakat. Hal ini mungkin bisa di wujudkan oleh KPI ( Komisi Penyiaran Indonesia ) PWI ( Persatuan Wartawan Indonesia ) dan lembaga terkait lainnya
Oleh karena itu jelaslah sudah bahwa saat ini televisi merupakan media hiburan semata-mata tanpa memperhatikan aspek cultural-edukatif yang jelas-jelas sangat di butuhkan oleh masyarakat kita terutama anak-anak dan generasi mudanya sebagai generasi penerus bangsa yang beretika luhur budaya ketimuran nan Agamis. Ironis memang ketika kita harus memperbaiki kondisi masyarakat kita yang telah sekian lama terpuruk dari berbagai macam hal, harus ditambah pula dengan pendoktrinan dan pemberian paham-paham budaya luar ( Westernisasi ) yang sangat merugikan kita melalui media televisi yang seharusnya menjadi sarana pembelajaran buat masyarakat. Alangkah mudahnya bangsa kita terbodohi oleh hal-hal yang yang menjerumuskan dalam budaya kemalasan dan dapat membuat kita terlena serta di manjakan secara berlebihan oleh teknologi akibatnya dengan mudahnya budaya yang sangat-sangat bertentangan tersebut menelusup masuk tanpa disadari oleh kita. Semoga ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita agar senantiasa menyadari serta memperhatikan dampak negative dari televisi yang kadang sudah di ambang batas kebudayaan Indonesia.

Tulisan ini kubuat pada tahun 2006 memenuhi mata kuliah Analisa Isi Media.....renungan terhadap Media Televisi yang semakin jauh dari siaran yang sesuai dengan aspek Cultural-Edukatif....... Copas dari blogku yang tinggal kenangan.......

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda