Jumat, 28 Maret 2014

Invasi untuk the Net Generation..........(untuk teman-teman yang selalu betah berselancar di Dunia Maya dan bermain PES)

ARI HANDOYO (20040530196)
penulis adalah mahasiswa ilmu komunikasi UMY, peserta mata kuliah sosiologi komunikasi
The Net Generation : sisi negatif invasi teknologi media elektronika
“Tanpa Hukum, Adat Istiadat, Tradisi dan aturan : Lilo Little On Line want to chatting” inilah penggalan lagu dari Slank dalam album terbarunya Slow But Sure yang berjudul LILO. Sebuah manifestasi kreatif dari musisi dalam merepresentasikan betapa dunia digitalisasi telah mengeksposure kehidupan generasi muda sekarang. Sebuah lingkaran struktur yang maya dan tidak nyata dalam proses interaksi kita sekarang menjadi sebuah paradigma yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sosial kita. Suatu tatanan hubungan yang tidak mempunyai aturan, hukum, adat istiadat dan tradisi yang jelas hanya melalui sebuah media jaringan serta terhubung keseluruh dunia sehingga menjadi tempat arena konstruksi kebudayaan dimainkan, rekayasa selera dikemas dan impian ditaburkan bagi kita.
“The net generation telah tiba” ungkap Don Tapscott mengawali bukunya “Growing Up Digital : The Rise Of The Net Generation (Tapscott,1998,1). Arus globalisasi yang sedemikian pesatnya kadang membuat kita terkurung dalam suatu pemikiran yang cenderung mengagung-agungkan teknologi komunikasi karena melalui komunikasi proses modernisasi dapat berjalan dengan lancar. Kemajuan teknologi telah mengakibatkan pembentukan fenomena baru dalam tatanan social Remaja dimana saat ini paradigma interaksi telah di dominasi oleh hal-hal yang berhubungan dengan digitalisasi jaringan (Cyberspace) dan elektronik. Internet dan MTV menjadi hal yang sacral untuk diterapkan oleh kehidupan anak muda sekarang hal ini dapat kita lihat dari betapa konsumtifnya para kawula muda mengkonsumsi hal-hal yang berbau Media, warnet sudah merambah sisi-sisi kehidupan kita seperti layaknya warteg, e-mail saat ini sudah disetarakan dengan kartu nama atau tanda pengenal bagi seorang individu, televisi menjadi hidangan murah meriah bagi kita, handphone menjadi trend prestise strata sosial seseorang dan lain sebagainya.
Kemampuan teknologi media elektronika memungkinkan perancang agenda seting media dapat menciptakan realitas dengan menggunakan satu model produksi yang oleh Baudrillard disebutnya dengan Simulasi. Yaitu penciptaan model-model yang nyata tanpa usul atau realitas awal. Hal ini disebutnya dengan Hiper realitas. Melalui model ini manusia dijebak didalam satu ruang yang disadarinya sebagai nyata meski sesungguhnya semu maya atau khayalan belaka (Baudrillard dalam Piliang,1998,228). Dengan demikian realitas yang dibentuk oleh internet, televisi dan sebagainya menjadi budaya baru di lingkungan generasi muda dimana setiap struktur kehidupan selalu menggunakan media tersebut misalnya bisnis, ekonomi, politik dan sebagainya. Memang teknologi mempunyai sisi positif misalnya lebih efisien dan efektif cara kerjanya tetapi disisi lain akan mengubah generasi muda kita menjadi semakin dimabuk dan termanjakan oleh teknologi sehingga timbulnya kejahatan-kejahatan cyberspace yang tidak dapat terdeteksi, mengubah wilayah privat menjadi umum, kearifan lokal semakin memudar sehingga kita lebih menyukai untuk menyendiri, berkomunikasi lebih mengutamakan dengan Email, membunuh waktu dengan TV, dibesarkan dengan Video Games dan lain sebagainya. Hal ini yang nantinya dapat menjadikan lunturnya moral bagi kita yang terlalu diperbudak oleh teknologi.
Durkheim memetakan fakta sosial sebagai esensi yang berada diluar kendali perilaku sosial, dia berasumsi bahwa perilaku manusia ditakdirkan untuk “dikendalikan” oleh kekuatan sosial yang dipaksakan dalam modernitas (Durkheim,1950 dalam Agger,2003,40). Dalam hal ini dapat ditelaah bahwa kini kita benar-benar telah hidup dalam dunia fantasi, audio visual dan interaktif yang cenderung menghegemoni penyadaran kita sehingga ingin menerapkan apa yang terdapat dalam teknologi tersebut untuk kemudian dijadikan sebuah budaya baru di alam bawah sadar kita tanpa berusaha untuk bersikap kritis terhadap media tersebut padahal media tersebut merupakan dunia produksi yang dikonstruksi ulang oleh kapitalisasi di balik komersialisasi dengan menjadikan negara maju sebagai pusat produsen untuk menciptakan budaya global yang kemudian disebarkan kenegara-negara yang masih dalam tahap pencarian jati diri seperti indonesia dengan menjadikan teknologi sebagai mediatornya untuk menancapkan taringnya keseluruh penjuru dunia. Akibatnya meminjam istilah dari Neil Postman (Postman,1990) akan terjadi “air bah chaos”(A deluge of Chaos) akibat dari membanjirnya informasi yang diserap dari pelbagai media tersebut kita menjadi bingung akan banyaknya nilai-nilai budaya yang masuk melalui arus globalisasi dan bahkan tidak mungkin akan menenggelamkan kita dalam sejenis AIDS Budaya yang menyebabkan kita mengadopsi semua budaya yang datang dari luar tanpa bisa memilih mana yang positif dan negatif dan parahnya nilai kearifan lokal yang telah sedemikan lama kita anut dengan mudahnya nantinya dapat dicampakkan begitu saja. Sederhananya akibat dari kesalahan pemanfaatan media ini dapat mengakibatkan keresahan sosial misalnya terjadi plagiatisme karya orang lain,download situs-situs tidak berguna, hanya dengan menggunakan software tertentu kita dapat mengubah foto orang lain dengan mudahnya untuk kemudian disebarkan melalui internet, TV menelurkan siaran berbau pornografi tanpa malu-malu atas nama dewa rating dan lain sebagainya
Bagi negara maju hal-hal semacam ini bukanlah masalah yang besar akan tetapi di negara berkembang seperti indonesia maka hal ini akan bisa menjadi racun apabila mentalitas yang ada pada masyarakatnya terutama generasi muda akibatnya mereka bisa terpengaruh untuk menghabiskan waktu luang mereka hanya untuk berhadapan dengan benda mati yakni seperangkat komputer, televisi, dan sebagainya serta melupakan hal-hal sosial lain yang penting untuk mereka lakukan. Dalam kasus ini terjadi imperialisasi melalui alat-alat komunikasi yang bisa mempengaruhi peta kognitif kita dalam mempersepsikan kehidupan sosial. Kita lebih menyukai menonton TV dari membaca buku, kita lebih menyenangi bermain Play Station daripada berdiskusi, dan lain sebagainya. Dengan kata lain
The net generation suatu generasi yang melek media karena mereka dibesarkan dalam lingkungan budaya baru khususnya budaya media baru, mereka akan menjadi generasi dengan kulturnya sendiri yang dikonstruksi oleh lingkungan teknologi komunikasi yang baru. Mereka lebih senang untuk menyendiri, berfantasi, bermimpi melalui terpaan media yang diterimanya. “jadi diri sendiri dialam mimpi, jadi orang yang berbeda didunia maya” beginilah SLANK menutup lirik lagunya, apakah ini merupakan wujud keprihatinan dari sekelompok musisi atau mungkin musisi ini sendiri juga sudah larut dalam gemerlapnya dunia teknologi yang semakin canggih.
Release kembali tulisanku waktu kuliah tahun 2007 mata kuliah Sosiolgi Komunikasi............
(untuk teman-teman yang selalu betah berselancar di Dunia Maya dan bermain Games)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda